SILA' MO DATANG NING BLOG PARIRI LEMA BARIRI

rss

Selasa, 26 Oktober 2010

Lapangan Bolaku Sayang, Lapangan Bolaku Malang....

Kalimantong(27/10),  Sepak Bola....siapa yang tidak kenal dengan olah raga yang satu ini. Dari anak-anak kecil hingga orang tua sangat menyukai olah raga ini, bahkan dari kalangan yang mapan sampai kalangan biasa-biasa saja yang hanya bermain di lapangan sederhana dengan peralatan yang seadanya. Tak bisa dipungkiri bahwa olah raga ini begitu digemari dan menjadi favorit bagi semua kalangan tak terkecuali pecinta bola di Desa Kalimantong. Namun hal itu kini  hanya menjadi mimpi karena lapangan yang selama ini dimanfaatkan warga untuk menyalurkan hobinya tersebut telah beralih fungsi menjadi kebun dan tempat pembuangan sampah sehingga mereka harus memendam keinginan untuk bermain di kampung halamannya sendiri, bahkan mereka harus rela bermain di lapangan bola desa tetangga.

Komedik yang mencari langsung sumber informasi yang bisa dipercaya mengenai masalah ini, langsung menemui Kepala Desa Kalimantong, Ayubar, menurut beliau " Lapangan itu asalnya adalah milik salah satu warga yang dimiliki secara turun temurun. Akibat banjir bandang yang melanda daerah ini Tahun 2000 lalu  telah mengakibatkan lapangan ini tidak layak lagi peruntukkannya menjadi lapangan bola. Karena lahan tersebut sudah terendam air dan tidak rata lagi". 
Kalimantong dulunya memiliki Club Persatuan Sepakbola yang cukup ternama yaitu PS. Mandiri Putra. Club ini memiliki catatan prestasi yang cukup membanggakan, namun kini hal itu hanya tinggal cerita yang terus didengungkan oleh orang-orang tua kepada kaum muda pecinta sepakbola yang kelak menjadi cikal bakal Pemain Bola kenamaan yang akan dicetak oleh Desa ini. " Memiliki Lapangan Bola  menjadi mimpi terbesar kami saat ini" ungkap Kepala Desa Kalimantong, Ayubar, dengan nada prihatin. "Tidak sedikit dari anak-anak muda Kalimantong yang memiliki kemampuan bermain yang baik bahkan diatas rata-rata namun karena masih terbentur dengan sistem yang masih baku yang berlaku di PS. Sumbawa Barat, Persatuan Sepak Bola Kabupaten Sumbawa Barat termasuk ketersediaan lapangan yang seadanya mengakibatkan mereka harus memendam keinginannya untuk bersaing dengan pemain-pemain lain yang berkeinginan bergabung dengan PS. Sumbawa Barat. Kalaupun ada lapangan di sekitar Desa Kalimantong, hal itu harus ditempuh hampir 3 Km dari Desa. Karena lahan yang dipakai selama ini adalah lahan-lahan pertanian yang  dimanfaatkan sementara sebagai lapangan darurat. Bila Musim tanam tiba, mereka harus mencari lahan lain yang belum dimanfaatkan pemiliknya". Jelasnya panjang lebar. Ironis memang,..

Kebutuhan rakyat akan rekreasi dan hiburan adalah salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi seorang pemimpin terhadap rakyatnya. Kebutuhan ini merupakan salah satu dari 10 Kebutuhan Pokok yang terus di dengungkan oleh Bupati Sumbawa Barat dalam setiap himbauannya. Semoga hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan beliau dalam mensejahterakan rakyatnya. 

Lapangan Bolaku sayang, Lapangan Bolaku malang. Nasibmu kini...


 

MERARI, Tradisi yang memutus rantai budaya?


Kalimantong(25/10), Budaya pernikahan di Tanah Sumbawa adalah suatu tradisi pernikahan yang bermuatan adat dan amatlah sakral. Tradisi Pernikahan dengan rentetan proses yang (kata sebagian orang) rumit menimbulkan persepsi berbeda di masyarakat. Terutama di kalangan anak muda dan remaja, mereka berpendapat jika sudah mempunyai niat baik untuk membina rumah tangga seharusnya kedua pihak orang tua mendukung niat anak-anak mereka dengan mempermudah urusan yang satu ini. Namun terkadang orang tua memiliki standar yang berbeda dengan standar yang ditetapkan oleh anak-anak mereka. Ada sebagian orang tua yang berpendapat, bahwa anak-anak mereka haruslah memiliki pasangan hidup yang ideal baik secara fisik, materi ataupun keturunan. Tak ada orang tua yang menginginkan anak-anaknya hidup menderita kelak, sehingga mereka terpaksa menetapkan standar-standar tertentu yang menurut ukuran mereka akan dapat membahagiakan kehidupan anak-anaknya kelak.

Urutan proses yang harus dilakukan calon mempelai sebelum menjadi pengantin dalam adat "tau samawa" secara ringkas yaitu diantaranya: Bajajak atau Pendekatan yang dilakukan oleh seorang pria pada wanita yang ingin dinikahinya. Pendekatan ini tidak hanya pendekatan secara personal namun juga pendekatan antara kedua keluarga untuk memastikan wanita yang ingin dinikahinya belum memiliki calon suami. Bila si wanita belum memiliki calon suami maka proses yang akan ditempuh selanjutnya yaitu Bakatoan, adalah proses dimana si pria akan melamar si wanita dengan prosesi pertemuan keluarga kedua belah pihak untuk membahas tentang Tanggal pelaksanaan pernikahan,  Penyorong atau jumlah biaya pernikahan yang akan ditanggung oleh pihak laki-laki dan penentuan besarnya Pebeli (mahar) si wanita. Diproses ini nantinya akan ditemui istilah "Pemako' " atau jumlah permintaan yang meliputi keseluruhan biaya yang disebutkan tadi. Biasanya akan disertai tawar-menawar yang dilakukan oleh keluarga pihak lak-laki sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Bila kesepakatan jumlah permintaan tersebut tidak menemui titik temu biasanya proses tersebut akan berhenti sampai disini alias pernikahan tidak jadi dilangsungkan. 

Namun apabila kedua calon mempelai ini sudah terikat secara hati dan bathin, biasanya mereka akan menempuh cara lain yaitu membujuk orang tua calon pengantin wanita untuk mau menerima calon mempelai laki-laki sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Bila cara tersebut tidak  mempan juga, ada sebagian orang yang menganggap bahwa "Merari"  adalah satu-satunya cara terakhir yang mereka miliki untuk bisa bersatu dan membangun mahligai rumah tangga walaupun orang tua salah satu atau kedua belah pihak tidak setuju dengan pernikahan tersebut. Tak jarang terjadi pertumpahan darah demi membela harga diri dan martabat keluarga yang merasa harkatnya diinjak-injak dengan terjadinya "Merari" ini. Ada banyak alasan kenapa "Merari" ini terpaksa dilakukan, namun alasan terbanyak yang ditemui adalah karena tidak adanya restu dari orang tua calon mempelai untuk anaknya menikah dengan pasangan pilihannya. Selain karena faktor keturunan, Kekayaan, Materi juga golongan menjadi alasan klise yang seharusnya bukan faktor penentu pasangan tersebut bahagia atau tidak kelak.

Berbeda dengan tradisi di Pulau Lombok, "Merari" adalah budaya yang sudah tidak asing lagi. Namun bagi "Tau Samawa" hal ini merupakan penghinaan bagi keluarga calon mempelai wanita, dimana anak wanita mereka diajak kawin lari oleh pasangannya. Bedanya dengan budaya Lombok, "Merari"  disini dilakukan dengan membawa pasangan wanitanya kerumah orang yang dituakan atau tokoh masyarakat ataupun tokoh agama dimana mereka akan menjelaskan alasan kenapa mereka lakukan hal tersebut serta mohon bantuan untuk menjembatani keinginan mereka kepada orang tua pasangan wanitanya. Setelah ada kata mufakat dari tokoh masyarakat ini, maka selanjutnya tokoh masyarakat ini akan menjadi juru damai mereka untuk menyampaikan keinginan mereka kepada orang tua si wanita. Terkadang dari keluarga pihak wanita akan mengajukan beberapa permintaan kepada pihak laki-laki, yaitu berkaitan dengan biaya pernikahan yang akan dilangsungkan di rumah si wanita. Bila permintaan tidak dapat terpenuhi maka prosesi pernikahan akan dilangsungkan dirumah si laki-laki dengan biaya yang disanggupi oleh pihak keluarganya. Tentu saja sebelumnya Tokoh Masyarakat yang menjadi Juru Damai antara kedua belah pihak akan memintakan wali nikah untuk si wanita kepada orang tuanya. Apabila tidak diberikan wali, maka terpaksa dipake wali hakim untuk melengkapi persyaratan pernikahan.


Tradisi "Merari"yang dulunya merupakan suatu hal yang amat ditentang keras oleh tetua adat seiring perkembangan zaman cenderung menjadi cara lain untuk melegalkan hubungan kasih antar dua insan. Selain itu bahkan ada asumsi yang menyatakan bahwa "Merari" menjadi cara untuk bisa melangsungkan pernikahan dengan biaya yang terjangkau mengingat kebiasaan dalam adat "tau samawa" pernikahan cenderung dilangsungkan dengan meriah dan besar-besaran yang tentu saja akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Bahkan terkadang pihak laki-laki harus menutup pinjaman sana-sini untuk membiayai pernikahannya. Semoga cara-cara seperti ini tidak akan terus membudaya karena tradisi ini bisa saja memutus rantai budaya yang selama ini dipertahankan oleh "tau samawa". Prosesi-prosesi adat yang selama ini menjadi kebanggaan akan punah dengan perlahan karena bisa dibilang bila setiap calon mempelai "Merari", maka tidak akan ada lagi ritual-ritual adat yang akan dilakukan karena prosesi akan langsung ke tahap pernikahan. Sehingga satu lagi budaya adat daerah ini yang tergerus arus modernisasi yang cenderung serba instan dan praktis yaitu Pernikahan.